Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 10 Juni 2015

Makalah Upacara Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian dalam Agama Buddha




UPACARA KELAHIRAN, PERKAWINAN, DAN KEMATIAN
DALAM AGAMA BUDDHA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hindu dan Buddha di Indonesia

Dosen Pembimbing
Siti Nadroh, MA


Disusun Oleh

Mohammad Rifky Nuris
Nevartani Kurbin
Novi Karyahti
Noviah Syahidah
  

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 
2015





PENDAHULUAN

Upacara adalah rangkain tindakan terorganisir dengan tatanan atau aturan tertentu yang mengedepankan berbagai tanda atau symbol –simbol kebesaran dan menggunakan cara-cara yang ekspresif dari hubungan social, terkait dengan suatu tujuan atau peristiwa yang penting. Kita mengenal bermacam-macam upacara, seperti upacara kenegaraan termasuk upacara militer dan upacara bendera, upacara adat dan agama.
Upacara dan ritual merupakan suatu ornament atau dekorasi untuk memperindah suatu agama guna menarik masyarakat.setiap agama. Upacara tersebut tentu mengandung makna penting bagi yang menjalankannya (penganut) seperti akan mendapatkan keberkahan, keselamatan dan lain sebagainya.


















PEMBAHASAN

A.  Makna Kelahiran dan Upacaranya

a.    Makna Kelahiran
Kelahiran dalam Buddha sehubungan dengan Tumimbal Lahir yaitu, kelahiran kembali suatu mahluk hidup dalam alam kehidupan yang sama atau berbeda serta tidak membawa kesadaran akan kehidupan dari alam sebelumnya. Konsep ini berbeda dengan konsep reinkarnasi di mana reinkarnasi masih membawa kesadaran akan alam kehidupan dari alam sebelumnya. Yang dimaksud dengan Tumimbal lahir adalah suatu proses kelahiran kembali jasmani dan batin yang lama mengalami pelapukan, kehancuran, dan kemudian muncul jasmani dan batin baru yang timbul akibat adanya kekuatan kamma (perbuatan). Jadi disini jasmani dan batin/”jiwa” tidak kekal. Konsep ini dianut oleh penganut Buddhisme sesuai dengan 3 prinsip dasar hidup dan kehidupan yaitu : Anatta, segala sesuatu adalah tanpa adanya “roh”/”jiwa”/batin yang kekal. Anicca, segala sesuatu yang terbentuk dari gabungan beberapa unsur adalah tidak kekal. Dukkha, segala sesuatu yang tidak kekal membawa penderitaan atau Dukkha.[1]

Menurut Sang Buddha, kita memiliki sejumlah ciri yang menentukan kita, apakah kita terlahir sebagai manusia atau hewan. Hal ini disebut Khanda, istilah dari bahasa Sansekerta yang berarti “kelompok” (juga dikenal sebagai agregat). Meskipun agak susah diterima, kebenaran penting yang ditekankan oleh Sang Buddha adalah tak adanya diri pada cirri mana pun atau keseluruhan. Kelahiran yaitu, mengumpulkan Khanda dalam suatususunan tertentuu.[2]

b.      Upacara Kelahiran
Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu, orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma). Ini adalah pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi Relic Suci, di Kandy.[3]
Pada saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu menyerahkan bayi mereka ke awam wasit (kapuva) di dalam ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk beberapa detik di lantai dekat ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu menerima anak dan memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang diberikan.
Lahir Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik.. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.
Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga.
Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam.
Menurut "Upacara Ritual Buddhis dan Sri Lanka," dengan pengecualian penahbisan dengan kehidupan monastik dan ritus pemakaman, hidup peristiwa siklus dianggap sebagai urusan sekuler untuk sebagian sejarah Buddhisme. Tidak seperti di agama besar dunia lainnya, tidak ada Buddha kuno penamaan bayi-upacara ada. Dalam masa yang lebih baru, ritual Buddhis telah dicampur dengan orang-orang dari agama-agama dunia dan budaya lain. Di banyak negara bahwa praktek Buddhisme Theravada, pengaruh luar telah mengilhami pengembangan Buddha penamaan bayi-ritual.





B.       Makna Perkawinan dan Upacaranya

a.       Makna Perkawinan
Dalam ajaran Buddha, pernikahan dianggap sebagai kebiasaan sosial dan bukan sebagai tugas religious.Pernikahan adalah kebiasaan sosial, suatu lembaga yang dibuat manusia demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, untuk membedakan manusia dari kehidupan hewandan untuk memelihara keutuhan dan keselarasan dalam proses berkembang biak. Sang Buddha tidak memberlakukan aturan tentang kehidupan pernikahan tapi member nasihat yang perlu tentang bagaimana menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia.ada anjuran penuh dalam ceramahNya bahwa adalah bijaksana dan sebaiknya setia pada satu pasangan dan tidak bernafsu mengejar pasangan lain. Pandangan umat Buddha terhadap pernikahan sangat liberal; dalam ajaran Buddha, pernikahan dianggap sepenuhnya urusan pribadi dan individual, bukan sebagai tugas religious. Tidak ada hukum keagamaan dalam ajaran Buddha yang mendesak orang untuk menikah, untuk tetap membujang, atau untuk menjalani kehidupan selibat total. Ajaran Buddha membebaskan setiap individu untuk menentukkan bagi dirinya sendiri segala sesuatu mengenai pernikahan.[4]
Makna Pernikahan seperti yang diajarkan Hyang Buddha pada pasangan mempelai Nakulapita dan Nakulamata :
”Perumah tangga, apabila pria dan wanita menginginkan agar berjodoh satu dengan yang lainnya dalam kehidupan ini, maupun dalam kehidupan mendatang”
“Suami istri, keduanya harus memiliki kehidupan yang sebanding dalam keyakinan, moral, kemurahan hati dan kebijaksanaan. Maka mereka akan selalu bersama dalam kehidupan sekarang ini, maupun kehidupan selanjutnya...”
Makna Pernikahan sesuai kitab suci Tri Pitaka - Anguttara Nikaya II, 61 yaitu:
"Demikian di dunia ini, pasangan suami isteri yang hidup sesuai tuntunan Buddha Dharma, mereka sepadan kebajikannya, maka di alam dewa mereka bersuka cita mencapai kebahagiaan yang diidamkan.”
Dalam hubungan ini sang Buddha membedakan empat jenis pasangan : (1) seorang pria jahat (chavo) dengan seorang wanita jahat (chava) mereka merupakan pasangan yang buruk, senantiasa melanggar pancasila, melakukan berbagai kejahatan, mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk, mementingkan diri sendiri, dan menghina orang-orang suci dan orang-orang lain, (2) pria jahat denagn wanita baik (devi), (3) pria baik (deva) dengan wanita jahat, (4) pria baik (deva) dengan wanita baik (devi) pasangan yang terakhir ini yang di puji oleh sang Buddha.[5]
Perkawian adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Di dalam Tipitka tidak banya ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawian, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan istri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.

b.      Upacara Pernikahan
Persembahan Puja pengantin disiapkan di Altar Hyang Tathagata Tuhan Yang Maha Esa dan di Altar Buddha dan Boddhisattva.
Kedua mempelai memberi penghormatan wensin dan namaskara sebanyak 3x, menyulutkan 3 batang hio, berlutut dan berdoa :
“Pada hari ini dengan penuh rasa sujud dan kesungguhan hati\ kami berdua berlutut dan menghadap Hyang Tathagata Tuhan Yang Maha Esa, sumber kesucian para Buddha dan Boddhisattva.”
“Kami saling berjanji untuk menyatukan diri dalam ikatan pernikahan yang suci. Kami berlindung pada Buddha, Dharma dan Sangha.”
“Kami berdua berjanji untuk selalu setia, membina rumah tangga dengan saling menghargai, saling membantu dalam suka dan duka, saling mengalah, saling berkorban, serta saling mengingatkan untuk berbuat kebajikan, sampai tercapai Pantai Bahagia ”
"Semoga Cahaya Buddha selalu memberikan karunia, ketentraman, kedamaian dan kemajuan dalam hidup rumah (angga kami, dan kami dikaruniai garis keturunan yang baik, yang bisa Manusia Berguna untuk keluarga, bangsa, Negara, masyarakat dan agama Buddha Mahayana ”
"Namo Omitofo, Namo Omitofo, Namo Omitofo.”
Selesai kedua mempelai sembahyang, dengan beranjali memasuki ruang Dharmasala, keluarga beserta tamu berdiri beranjali.
Di Altar Hyang Buddha, para Boddhisatvva dan Dewa Pelindung Dharma, kedua mempelai memberi penghormatan wensin dan namaskara sebanyak 3x pada Hyang Buddha, para Boddhisatvva dan Dewa Pelindung Dharma.
Kedua mempelai melakukan Puja Penerangan - menyalakan Lilin Pengantin, dalam hati berdoa ;
"Semoga Api Dharma ini menjadi penerangan bagi perjalanan hidup rumah tangga kami berdua.
"Om Vajra Adoke Adi Hum 3x “
Lalu kedua mempelai melakukan Puja Dupa, menyalakan masing-masing 1 dupa di lilim pengantin, dengan berdoa dalam hati :
"Semoga dengan wanginya dupa ini dapat ikut mengharumkan Tanah suci para Buddha, membawa berkah keberuntungan dan kebahagiaan dalam perjalanan hidup rumah tangga kami berdua."
"Om Vajra Dupe Ah Hum 3x"
Arya Sangha yang akan memberkati Perkawinan, memberikan pengantar upacara pemberkatan, sbb :
“Para wali dan keluarga mempelai yang kami hormati, sebelum upacara pemberkatan Pernikahan ini disahkan, perkenankanlah kami mengajukan pertanyaan dan mohon dijawab dengan sejujurnya di hadapan Altar suci para Buddha dan Boddhisattva. Apakah pernikahan ini direstui oleh orang tua atau wali dari kedua belah pihak?"
Jika pernikahan direstui, maka keluarga seharusnya menjawab "Ya kami restui Tapi jika ada pihak yang keberatan, inilah , saat terakhir untuk mengungkapkannya atau bijaksana jika tetap diam selama Pernikahan antara kedua insan ini ada.”
Ketika jawabannya iya, maka Sangha memanjatkan ayat kitab suci dengan diikuti kedua mempelai.

a)      PRASETIA PERNIKAHAN
Prasetya Pernikahan diucapkan kedua mempelai di hadapan Altar Buddha dan Boddhisattva dalam sikap anjali, hikmad dan berlutut penuh sujud.
Prasetya Pernikahan kedua mempelai diawali dengan :
"Pada hari ini, dengan penuh rasa sujud dan sungguh hari, kami berdua berlutut dan menghadap kepada Hyang Tathagata Tuhan Yang Maha Esa, sumber kesucian para Buddha dan Boddhisattva, kami saling berjanji untuk menyatukan diri dalam ikatan Pernikahan yang suci”
Kemudian mempelai pria mengucapkan nama, tempat tanggal lahir dan kesediaannya menerima mempelai wanita menjadi isterinya yang sah.
Demikian juga sebaliknya, mempelai wanita mengucapkan nama, tempat tanggal lahir dan kesediaannya menerima mempelai pria menjadi suaminya yang sah.
Mempelai saling ber-Prasetya pada pasangan hidupnya :
“Kami berjanji untuk selalu setia kepada Prasetya Pernikahan kami, dengan saling menghargai, saling membantu dalam suka dan duka” "Kami berjanji saling menjaga kesetiaan dalam berbagai hal, saling mengalah, saling berkorban, serta saling mengingatkan untuk berbuat kebajikan, sampai tercapainya Pantai Bahagia." 
Kedua mempelai ber-Prasetya pada keturunan mereka nantinya : 
“Kami berjanji akan menjadi orang tua yang selalu penuh cinta kasih, memberikan pelayanan kesehatan jasmani rohani, dan memberikan pendidikan yang layak, serta melindungi keturunan kami” 
Kedua mempelai ber-Prasetya pada kedua belah pihak orang tua mereka : 
“Kami berjanji saling menghormati dan menyayangi pada kedua belah pihak orang tua kami” 
Kedua mempelai menutup Prasetya Pernikahan mereka dengan berdoa dan pengharapan yang baik : 
"Semoga Cahaya Buddha selalu memberikan karunia, kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan kemajuan dalam hidup kami.” 
"Semoga kami dikaruniai keturunan yang sehat, berbakti, dan menjadi Manusia berguna bagi keluarga, masyarakat bangsa, negara dan agama Buddha.” 
Prasetya Pernikahan diakhiri dengan memuliakan nama Amitabha Buddha sebanyak 3x : 
“Namo Omitofo, Namo Omitofo, Namo Omitofo ”
mgate Bodhi Svaha 3x

b)      Wacana pernikahan
Untuk upacara pemberkatan, ada pra-syarat Puja yang harus dipenuhi pengantin, disebut 5 Puja Pengantin, yaitu:
Upacara pemberkatan pengantin termasuk upacara besar, karena itu pra-syarat Puja harus lengkap .
1.      Dupa / Hio/ Gaharu yang wangi sebanyak 9 batang (minimal untuk 3 jam pembakaran)
2.      Lilin pengantin sepasang, berwarna merah atau kuning.
3.      Buah atau makanan, sebanyak 3 atau 5 macam, berjumlah (@ 2, 6 atau 10 buah. (Buah, kue atau permen manis termasuk Puja makanan)
4.      Bunga segar sebanyak 2 ikat, usahakan yang wangi seperti Sedap Malam atau
5.      yang bisa tumbuh seperti batang pohon Sri Rejeki.Bunga tabur aneka warna satu bungkus, selain bunga pagi sore tambahkan yang wangi seperti melati, kenanga, cempaka dan mawar.

c)      Tujuan perkawinan
      Dalam pesta nikah di Jambunada Buddha memberi khotbah mengenai perkawinan yang hendaknya dilandasi cinta akan kebenaran.[6] Manusia membayangkan kebahagian dalam ikatan perkawinan yang mempersatukan dua hati yang saling mencintai. Tetapi kemtian akan memisahkan suami dari istrinya, istri dari suaminya. Ada kebahgian yang lebih besar, yaitu menikahkan diri dalam kebenaran. Kematain tidak akan menjamaah dia yang kawin dan hidup dalam ikatan suci dengan kebanaran, karena kebanaran itu abadi.[7]
      Apa yang disebut kebahagian dalam kehidupan sekarang ini ataupun kehidupan yang akan datang menghendaki adanya keyakinan moral, kemurahan hati dan kebijaksanaan yang sebandin. Karena itu tujuan perkawinan tiada lain adalh saling melengkapi, saling mendukung dan melindungi sehingga pasangan yang bersangkutan bersama-sama dapat mencapai kesempurnaan yang mendatangkan kebahagian. Lembaga perkawinan merupakan tempat untuk mengembangkan kekuatan secara sinergis dari dua individu yang membentuk pasangan, yang membebaskannya dari kesepian, kekhawatiran, ketekutan, kekurangan dan kelemahan. Dengan itu, tak seorang pun yang tidak diperkuat dengan kehidupan spiritualnya.[8]

C.       Makna Kematian dan Upacaranya

a.       Makna Kematian
a)      Kematian dalam agama Budha
Bila kematian tiba,
Tak ada yang kubawa serta,
Harta, kemewahan bukan lagi milikku,
Kedudukan, nama dan kekuasaan,
Semua telah sirnah.
Siapa mengiringi perjalananku ?
Lenyap sudah tali ikatan
Teman, sahabat, keluarga tercinta,
Hanya tinggal kenangan ……
Kini ku teringat,
48 janji besar Amithabha Buddha’
Tekad mulia menolong semua makhluk,
Bebas dari derita,
Untuk lahir dari surga sukhavati,
Kepada-Nya aku berlindung,
Sepenuh hati ku berseru :
Namo AmithabhaBuddha. (berulang-ulang)[9]
Agama Buddha mengajarkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan dialam tumimbal lahir yang baru.
Bagi mereka yang sewaktu msih hidup rajin berlatih membina diri, menghayati dan melaksanakan ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya tiba, bahkan ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun; bulan; minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari ketakutan dan kemantapannya  di dalam menghayati Buddhi Darma. Sehingga menjelang saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan seperlunya, yaitu membersihkan diri dan menukar pakaian, lalu bermeditasi sambil menyebut Namo Amhitabha Buddha.
Menurut agama buddhapun, hidup tidak hanya sekali . adanya silkus lahir dan mati,bagaikan siang dan malam. Kematian bukanlah akhir, karna seketika itu pula berlanjut pada kelahiran kembali. Melalui lahir dan mati dari alam yang satu kea lam yang lain, ataupun kembali kea lam yang sama, para mahluk menjalani lingkaran tumimbal lahir. Buddha mengatakan,”sesuai dengan karmanya mereka akan bertumimba-lahir dan dalam tumimba lahirnya itu mereka akan menerima akibat dari perbuatannya sendiri. Karna itu aku menyatakan: semua makhluk adalah ahliwaris dalam perbuatannya sendiri.”
Sedangakan gagasan penganut Buddha tradisional tentang kematian didasarkan pada doktrin india kuno yaitu samsara, dan secara beragam diterjemaahkan sebagai renkarnasi atau transmigrasi- dari waktu kehidupan menjadi kehidupan yang lain.[10]

b.      Upacara Kematian
Pada saat menjelang kematian terurainya 4 Element besar dimulai dari unsur tanah, unsur tanah akan turun ke unsur air, yang menyebabkan badan terasa sesak, seakan-akan menanggung beban yang sangat berat, seluruh otot terasa kaku dan keram, pada saat ini dianjurkan agar sanak saudara jangan menyentuh atau memijatnya, karna akan menambah penderitaan jasmaninya. Setelah itu unsur air akan turun ke unsur api, yang menyebabkan seluruh tubuh bagaikan diselimut oleh hawa dingin yang amat sangat, beku sakit bukan kepalang. Dan dilanjut dengan turunnya unsur api ke unsur angin, rasa sakit bertambah hebat, seluruh badan terasa panas bagaikan terbakar. Element terakhir yang terulang adalah unsur angin, badan rasanya seperti ditiup oleh angin kencang, tercerai-berai dan hancur lebur. Saat ini 4 element besar telah berpisah, badan jasmani tak dapat dipertahankan lagi,inilah yang disebut mati dalam ilmu kedokteran. Tetapi menurut teori Buddhis, indra ke 8 (alajnavijnana) dari orang tersebut belum pergi, karenanya belum boleh disentuh, dia masih dapat merasa sakit, bahkan ada yang bisa mengeluarkan air mata, walaupun secara medis sudah dinyatakan mati.
Seperti halnya Sang Buddha yang pada wafatnya di mandikan dan diminyaki dengan minyak wewangian kemudian jenazahnya dibungkus, lalu dikremasi. Namun pada saat itu konon katanya jenazahSang Buddha tidak bisa dibakar oleh orang yang ingin mengkremasi jenazahnya melainkan api menyala sendiri dan akhirnya terjadi kremasi ajaib. Umat buddhisme pun seperti itu, jenazah yang telah meninggal diurusi, kemudian di bungkus kain, kemudian di kremasi. Sanak keluarga dan saudara biasanya berkumpul untuk mendoakan jenazah yang meninggal tadi, kemudian mengiringi jenazah kepada tempat kremasinya.




















PENUTUPAN
Kesimpulan

Setiap agama memiliki pandangan dan makna dalam siklus kehidupan yaitu, dari lahir, menikah dan kemudian meninggal. Memiliki cara-cara kegamaan yang dilaksanakan dalam setiap upacara-upacaranya. Pada Buddha tidak mengenal betul konsep Tuhan, oleh sebab itu menurut Buddhisn kehidupan ini berjalan secara alamiah sebagai siklus alam. Kematian dalam agama Buddha bukanlah akhir, melainkan awal untuk kehidupan yang akan datang, arena mereka memiliki ajaran yang disebut Tumimbal Lahir, dimana seseorang yang telah meninggal akan hidup dalam kehidupan selanjutnya di bumi dengan keadaan yang berbeda sesuai perbuatannya(Kamma). Kelahiran merupakan Dukkha, sebab dalam menjalankannya penuh dengan kedukha-an. Dalam Buddha juga dijelaskan bahwa pernikahan bukanlah merupakan kewajiban, melainkan pilihan. Pernikahan bukan bagian dari religiusitas. Masalah pernikahan Sang Buddha sendiri menyerahkan kepada individunya masing-masing, Sang Buddha hanya sedikit memberi nasihatnya tentang perkawinan . salah satunya agar setia pada satu pasangan.











DAFTAR PUSTAKA

Dhammananda, Sri. Keyakinan Umat Buddha.Kuala Lumpur: Yayasan Penerbit Karaniya, 2007.
Dutavira, Bhiksu. Perjalanan Kematian. Jakarta: Pustaka Mahayana, 1993.
Helmi, Sumo, Upacara kelahiran sampai Perkawinan dalam Agma Buddha,http://helmisumo.blogspot.com/2011/10/upacara-kelahiran-sampai-perkawinan.html  di akses pada tanggal 28 April 2015, pukul 9.51.
http://id.wikipedia.org diakses pada Jumaat,24 April 2015 10.58 wib.
Lin, Yutang. Buddhisme untuk pemul. diterjemahkan oleh Rudi Ronald Sianturi. Yogyakarta : Tarawang Press, 2001.
Mukti, Wijaya, Krishnanda. Wacana Buddha Dharma. Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003.
Stokes, Gillian. Seri Siapa Dia? Buddha. Jakarta:ERLANGGA, 2001.
Tanggok, M. Ikhsan,  Agama Buddha,  Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Worwor, Cornelis. Pandangan Sosial Agama Buddha. Jakarta: CV Nitra Kencana Buana, 2004.










[1]http://id.wikipedia.org diakses pada Jumaat,24 April 2015 10.58 wib.
[2] Gillian Stokes, Seri Siapa Dia? Buddha,(Jakarta:ERLANGGA, 2001) h.57.
[3] Helmi, Sumo, Upacara kelahiran sampai Perkawinan dalam Agma Buddha, http://helmisumo.blogspot.com/2011/10/upacara-kelahiran-sampai-perkawinan.html  di akses pada tanggal 28 April 2015, pukul 9.51.
[4]Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha,(Kuala Lumpur: Yayasan Penerbit Karaniya,2007), h. 343-344.
[5] Cornelis, Wowor, Pandangan Sosial Agama Buddha, ( Jakarta : CV Nitra Kencana Buana,2004) , h.57.
[6] Lin, Yutang, Buddhisme untuk pemula, diterjemahkan oleh Rudi Ronald Sianturi,( Yogyakarta : Tarawang Press, 2001), h. 79-80.
[7] Krishnanda, Wijaya-Mukti Wacana Buddha-Dharma, (Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), h. 340.
[8]Ibid, h. 341.
[9]Dutavira Bhiksu, Perjalanan Kematian, (Jakarta: Pustaka Mahayana,1993) h.11.
[10]M.ikhsan tanggok,Agama Buddha, (Jakarta: Lembaga Penelitian: UIN Jakarta, 2009), h.97-98.

1 komentar:

  1. Lucky Club Casino Site | Slots, Live Casino, Table Games
    i to bring you 카지노사이트luckclub the latest casino games for you to enjoy at the Lucky Club Casino. Choose a slot, roulette, baccarat, blackjack, poker,

    BalasHapus