UPACARA KELAHIRAN, PERKAWINAN,
DAN KEMATIAN
DALAM AGAMA HINDU
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah
Hindu dan Buddha di Indonesia
Dosen Pembimbing
Siti Nadroh, MA
Disusun Oleh
Mohammad Rifky Nuris
Nevartani Kurbin
Novi Karyahti
Novih Syahidah
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
PENDAHULUAN
Dalam agama pasti memiliki cara masing-masing
untuk menjalankan ritusnya. Setiap praktik upacara keagamaan memiliki makna, symbol
dan perangkat yang sacral dan penting untuk dilaksanakan dan dipelihara.
Perangkat upacara itu sesungguhnya adalah merupakan budaya Hindu. Dengan
bersatunya kekuatan melalui pemujaan, maka akan menimbulkan kekuatan baru
sesuai dengan fungsi upacara. Dengan demikian adanya upacara keagamaan adalah
hal yang sangat pentingkarena upacara akan melahirkan karma, dengan adanya
karma manusia akan bisa menolong dirinya sendiri dalam hal kelepasan dari
kesengsaraan lahir dan bathin. Dalam makalah ini akan membahas praktik upacara
yang dilakukan oleh umat Hindu, yaitu Makna dan upacara Kelahiran, Perkawinan,
dan kematian.
PEMBAHASAN
A.
Makna Kelahiran dan Upacaranya
a.
Makna
Kelahiran
Manusa
artinya manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus dan ikhlas.
Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam
rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap
seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Upacara
manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang
artinya empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari
catur purusa arta adalahbrahmacari, grehasta, wanaprasta,
dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan
mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan
dan masuk pada jenjang-jenjang kehidupan.
Dalam agama hindu,ritual atau upacara yang dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan disebut Magedog-gendongan.Upacara
ini dilakukuan setelah kandungan berusia di bawah lima bulan.Upacara ini
bertujuan untuk membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak
menjadi orang yang berguna untuk dalam masyarakat nanti.
b.
Upacara
kelahiran
Pada saat
menanam ari-ari mempergunakan kelapa yang kulit serabutnya telah terkupas
tetapi masih ada batok kelapanya dan dibelah dua, memakai ijuk, kain putih, dan
rontal yang berisi tulisan bamboo (ngaad). Semua itu mengandung makna
masing-masing, yaitu:
a)
Kelapa
merupakan symbol kekuatan Sang Hyang Basunari, agar bayinya dilindungi.
b)
Kain
putih sebagai pembungkus menjadi symbol kesucian, agar anak setelah dewasa
nanti mau memelihara kesuciannya.
c)
Pisau
dari bamboo menjadi symbol ketajaman pikiran dan kecerdasan.
d)
Daun
rontal yang ditulis menjadi symbol sebagai kesehatan rohani dan jasmani kelak
dikemudian hari memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi.
e)
Ijuk
sebagai symbol rambut bayi yang lebat,
f)
Setelah
ari-arinya ditanam di atasnya diisi batu hitam menjadi symbol keteguhan iman
dan panjang umur.
g)
Kemudian
ditanam pohon pandan sebagai symbol buaya rakrik untuk menolak perbuatan jahat.
h)
Ditanamkan
pohon kantawali menjadi symbol nagapasa juga sebagai symbol penolak perbuatan
jahat.
i)
Yang
terakhir ditancap sebuah sanggah tutuan menjadi symbol stananya Sang Hyang
Mahayoni Sakti sebagai dewanya si bayi.
j)
Diatas
batu hitam/batu bulitan diletakkan sebuah lampu dari minyak kelapa dan ditutup
dengan sangkar ayam (guwungan).
k)
Lampu
tersebut menjadi symbol sinarnya Sang Hyang Candra, supaya nanti si bayi
memiliki kecermelangan didalam batinnya.
l)
Sangkar
ayam menjadi symbol kekuatan dari Sang Hyang Mertyunjaya, agar jiwa si bayi
selalu dilindungi.[1]
Tata
cara upacara magedog-gendongan:
Dilakukan di dalam pemandian di dalam rumah,ibu
yang sedang mengandung disucikan,di tempat suci itu disertakan pula alat
upacara berupa benang hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang
kayu dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken dibungkus
dengan kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap ditancapkan
pada pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan dijinjing oleh sang
ibu,sang suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan tangan kanan suami
memegang bamboo,air suci dipercikan pada sesajian yang telah
disediakan,.setelah itu suami istri bersembahyang memohon keselamatan agar bayi
yang di dalam kandungan selamat sampai lahirnya nanti tanpa
hambatan,upacara ini disertakan pula mantra-mantra sepertidi Bali digunakan
mantra Matrpuja Nadisraddhadan dan Prapajapalopuja yang
samata-mata dilakukan untuk keselamatan ibu.[2]
c.
Perbedaan-perbedaan
Terdapat beberapa perbedaan dalam upacara
Jatakarma dalam umat Hindu di India dan umat Hindu di Indonesia.Jika di India
sehari sebelum melahirkan,sang ibu dianjurkan memasuki kamar yang telah
disediakan khusus untuk proses kelahiaran,yang telah pula diberikan doa-doa
untuk mengusir kekuatan negative serta penjagaan terhadap kekuatan negatife
yang akan masuk.Pada saat proses kelahiran,sang ibu berbaring,lalu semua pintu
kamar dibuka tetapi pintu rumah luar ditutup,konon cara seperti ini juga
digunakan di Jerman ketika proses kelahiran berlangsung.Pada saat itu pula
diucapkan doa-doa untuk melindungi ibu dan bayinya dari gangguan-gangguan
negative.Pada tradisi umat Hindu di Hindia,tidak adanya doa ataupun upacara
mengenai ari-ari.
Lain pula halnya di Indonesia,dalam kepercayaan
umat Hindu di Indonesia,beranggapan bahwa mulai saat setelah lahir,pada saat
itu juga bayi itu diasuh oleh Sang Hyang Kumara ,dan untuk itu pula
dibuatkan sebuah tempat bayi itu tidur yang disebut pelangkir Kumara.Sang
Hyang Kumara ini ditugaskan oleh Bhatara Siswa menjadi pengasuh serta pelindung
anank-anak yang seketika itu giginya belum tanggal.Sesajen untuk Kumara ini
berisi nasi putih dan nasi kuning yang berisikan telur dadar,sepotong
kecil pisang mas,geti-geti,gula jawa(gula bali yang direbus),serta minyak wangi
dan bunga-bungaan yang harum,terutama yang berwarna putih dan kuning.Dalam
kepercayaan umat Hindu,Kumara adalah seorang dewa yamg tidak mau mempunyai
keturunan sehinnga tetap sebagai teap menjadi anak-anak,tetap suci dan
lugu,Jika seorang bayi tertawa kecil sendiri,tiu daanggap sedang bermain-main
dengan penjaganya yaitu Kumara.Tentang masalah ari-ari di Indonesia,hal ini
termasuk masalah penting dalam penanganannya.
B.
Makna Perkawinan dan
upacaranya
a. Makna Perkawinan
Dalam agama Hindu istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan.
Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal
katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa
sansekerta yang berarti pesta pernikahan.
Dalam Hindu, perkawinan dianggap sebagai komitmen
seumur hidup dari seorang istri dan suami, adalah ikatan sosial yang paling
kuat yang terjadi antara seorang wanita dan pria dihadapan orangtuanya,
keluarganya, teman-temannya dan masyarakat. Tahapan
untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap
Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta
Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta
Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa. Perkawinan dalam agama Hindu juga berarti
melaksanakan salah satu dari empat tahapan dalam kehidupan (Brahmacarya
Asrama,Grhastha Asrama, Vanaprastha Asrama, dan Sannyasa Asrama), melasanakan
perkawinan berarti seorang Hindu tersebut melaksanakan tahapan pada poin ke dua
yaitu Grhastha Asrama, yaitu titik awal pada tahapan ini adalah perkawinan
seseorang yang dianggap sebagai sakramen , dan bukan merupakan kontrak, dalam
pandangan kehidupan Hindu. Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya
untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama
menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut
“Yatha sakti Kayika Dharma” yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan
Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma
dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus
benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Selain itu bagi seorang Hindu, perkawinan
adalah cara satu-satunya untuk melanjutkan keturunan keluarga dan dengan
demikian membayar hutangnya. Dalam Hindu ada tiga hutang yang harus dibayar
yaitu hutang pada Tuhan, hutang pada para Rsi dan orang suci, dan yang ketiga
hutang yang harus dibayar seseorang dalam kehidupan seseorang adalah pada
leluhur seseorang. Pembayaran hutang yang ketiga inilah yang berhubungan dengan
perkawinan karena pembayaran ini termasuk didalamnya membentuk keluarga,
pendidikan keagamaan, seni dan ilmu pengetahuan yang mencukupi bagi anak
seseorang adalah bagian yang utama dari hutang ini . Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan
kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki
karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan “Ri sakwehning
sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma,
kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi
wang” artinya: dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan
sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk
peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi
manusia.[3] Kesucian perkawinan dicerminkan dalam
fakta kebanyakan dari manifestasi Tuhan mengambil wujud berpasangan, tidak
sendiri baik Dewa maupun Dewi. Perkawinan Hindu yang ideal adalah untuk
menyatukan perbedaan untuk keharmonisan hidup.
b.
Upacara
Perkawinan
Dalam agama Hindu, pernikahan secara keseluruhan adalah sifat
religious, tetapi didahului dengan upacara pendahuluan. Upacara pendahuluan ini
dapat berbeda dari etmpat satu ke tempat lainnya dan dari daerah satu ke daerah
lainnya. Upacara pendahuluan ini dilakukan oleh seorang pendeta di rumah
mempelai wanita (atau kuil) sebelum upacara perkawinan berlansung selama
beberapa jam. Hari dan tempat perkawinan diatur oleh pendeta. Upacara yang
paling penting untuk pengesahan suatu perkawinan Hindu adalah upacara yang
disebut Saptapadi.
c.
Syarat
perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
Batiniah,yaitu:
a) pernikahan yang berdasarkan
cinta sama cinta
b) mempelai harus agama yang
sama
Lahiriah,
yaitu:
a)
faktor
usia
b)
bibit,bebet,bobot
c)
tidak
terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain[4]
Didalam masyarakat Hindu,khususnya di Bali,
terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk perkawinan yang merupakan
bentuk pejabaran dari bentuk perkawinan yang diungkapkan dalam Pustaka Manawa Dharmasastra, diantaranya: mempadik, ngerorod, nyentana, melegandang.[5]
Walaupun
terdapat variasi diantara orang-orang Hindu dalam upacara dan ritual perkawinan
namun sumber dari segala kebiasaan tersebut adalah dari kitab suci.
1.
Permulaan
Perkawinan : pendeta memulai upacara perkawinan itu dibawah sebuah panggung
yang dirancang khusus dan dihias untuk upacara itu. Pendeta memohonkan berkah
dari Tuhan pada pasangan yang akan dikawinkan. Mempelai wanita memberikan
yougurt dan madu pada pasangan mempelai priadengan meletakkan kalungan bunga
dilehernya dan mempelai pria membalas hal yang sama.
2.
Kanya
Dana (memberikan anak perempuan) : mempelai wanita melambangkan perubahan
status dari seorang wania yang belum menikah menjadi seorang istri dengan
mengoleskan bubuk ditangannya. Seorang ayah menuangkan air suci yang
melambangkanpenyerahan putrinya kepada mempelai pria. Mempelai pria menyanyikan
lagu-lagu Veda pada Kamma, Dewa Cinta, untuk cinta yang murni dan berkahnya.
Sebagai syarat untuk menikahi putrinya, ayah mempelai wanita meminta tiga tujuan,
yaitu, dhama, artha, kamma. Mempelai pria berjanji dan mengulangnya tiga
kali bahwa ia tidak akan menyakiti dan sadar akan dhama, artha, kamma.
3.
Vivaha
(Perkawinan) : mempelai wanita dan mempelai pria berhadap-hadapan, dan pendeta
mengikat busana mereka (sari mempelai wanita dan baju mempelai pria) membentuk
simpul, melambangkan penyatuan yang suci. Mempelai wanita dan pria saling
mengalungi kalungan bunga satu sama lain dan menukar cincin. Kemudian api suci
dihidupkan dan dipuja, melambangkan saksi dari sakramen itu.
4.
Panigrahana
(memegang tangan) : Kedua mempelai saling berhadapan, mempelai pria memegang
tangan mempelai wanita dan menyanyikan lagu-lagu Veda untuk hubungan yang
bahagia.
5.
Laya
Homa : Mempelai wanita memberikan pengorbanan makanan (yang diberikan oleh
kakak laki-laki mempelai wanita, atau seseorang yang bertindak sebagai kak
laki-lakinya) pada Tuhan untuk berkah dewa-dewa.
6.
Agni
Parinaya: Mempelai pria memegang tangan mempelai wanita dan keduanya berjalan
tiga kali mengelilingi api upacara perkawinan. Keduanya memberikan air suci dan
menyanyikan lagu-lagu Veda pada dewa-dewa untuk kemakmuran, peruntungan yang
baik, dan kesetiaan pasangan yang menikah.
7.
Asmarohana
(menumpuk batu) : Pada akhir dari setiap putaran api upacara, kedua mempelai menginjak
batu dan berdoa aar cinta mereka kokoh dan tetap setia seperti batu.
8.
Saptapadi
(tujuh langkah, sumpah perkawinan) : Ini adalah upacara yang paling penting
dari keseluruhan upacara perkawinan. Mempelai wanita dan pria melangkah
sebanyak tujuh langkah mengelilingi api perkawinan (Agni) dan bersumpah satu
sama lain dengan sumpah perkawinan. Upacara Saptapadi yang berakhir dengan doa
bahwa penyatuan ini tidak akan pernah terpisahkan.
9.
Suhag
: Mempelai laki-laki meletakkan Shindur (bubuk merah) pada rambut
mempelai wanita yang menandakan bahwa ia adalah wanita yang sudah menikah.
10.
Asirvada
(berkah) : orang tua mempelai pria memberikan berkah pada pasangan dan
memberikan pakaian atau bunga pada mempelai wanita (yang sekarang telah menjadi menantu mereka),
melambangkan bersatunya ia dengan keluarga mempelai pria. Semua hadirin
melempari bunga pada pasangan pengantin dan memberkahi mereka.
11.
Lagu-lagu
perkawinan banyak berasal dari Veda dan kitab-kitab lainnya, salah satunya lagu
berasal dari Rg Veda.[6]
C.
Makna Kematian dan Upacaranya ( Ngaben)
a. Makna Kematian
Ngaben secara umum didifinisikan sebagai
upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang
tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben
sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal. Kata beya
ini dalam kalimat aktif(melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Boleh juga
disebut ngabeyanin. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi
ngaben.[7]
Manusia terdiri dari dua unsure yaitu,
Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu manusia terdiri dari tiga lapisa,
yaitu: Raga Sarira, Sukma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira
adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu(ragha) antara
ibu dan bapak. Sukma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang
terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Citta, Manah,
Indriya dan Ahamkara). Anthakarana Sarira adalah yang menyebabkan
hidup atau Sanghyang Atma.[8]
Ketika manusia itu meninggal, Sukma
Sarira dengan Atma akan pergi meninggalkan badan. Atma yang
sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Sukma
Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak
dapat difungsikan, lantaran beberapa bagian sudah rusak. Hal ini merupakan
penderitaan bagi Atma.
Untuk tidak terlalu lama Atma terhalang perginya, perlu badan kasarnya
diupacarakan untuk mempercepat proses kembalinya, kepada sumber dialam., yakni Panca
Mahabhuta . demikian juga bagi Sang Atma perlu dibuatkan upacara
untuk pergi kea lam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya.
Proses inilah yang disebut Ngaben.[9]
b. Upacara Kematian
a)
Bentuk-bentuk
Upacara Ngaben
1.
Ngaben
Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang
masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan
dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut.
Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya
bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala
sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di
masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat
pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan
penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga
masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti
membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan
pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang
bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
2.
Ngaben
Asti Wedana
Asti
Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah
dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali
kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang
belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa
setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak
diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah
akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi
( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
3.
Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun
kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti :
meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada
upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang
dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang
bersangkutan.
4.
Ngelungah
Ngelungah
adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
5.
Warak
Kruron
Upacara untuk bayi yang mengalami
keguguran.
b)
Pelaksanaan
Upacara
1.
Mabersih/Mresihin
1)
Upakara
yang disiapkan:
a.
Air
bersih
b.
Air
kumkum
c.
Kramas
dan minyak rambut
d.
Sigsig
e.
Bablonyoh
putih kuning
f.
Sikapa
g.
Telur
Ayam
h.
Don
tuwung
i.
Daun-daun:
intaran, menuh
j.
Kepehan
waja, kepehan meka,malem
k.
Daun
padma, daun terang bola
l.
Monmon
mirah
m.
Angkeb
rai putih
n.
Pangulungan
o.
Kain
putih
p. Kwangen
dengan uang kepeng 11 satu buah (ada kalanya disuatu tempat juga, dijalankan
kwangen pangrekan 22 buah)
q.
Tirtha
pembersih
r.
Papaga
(Bale Padyusan)
2)
Pelaksanaan
Memandikan Sawa:
Sawa digotong dari tempat meninggalnya, lalu ditaruh pada bale
papaga. Pakaiannya yang dahulu dilugar, lalu dialasi tikar dengan kain baru.
Dikasih gelang dengan uang kepen 200. Diatas Sawa dipasang kain putih sebagai
leluhur. Pakaiannya dilugar, kemaluannya ditutup. Kalau laki ditutup dengan
kain, terung bola, oleh anak perempuannya. Kalau perempuan ditutup dengan daun
padma, oleh anak yang laki. Sawa disiram dengan air bersih disekujur tubuhnya.
Lalu dilaksanakan pembersihan sawa. Mula-mula mulutnya dengan air kekumur, lalu
diberi sigsig kemudian dikeramas. Kemudian diminyaki, setelah bagian
hulu, mukanya ditutup dengan prarai, kemudian badannya ditutup dengan kain
bersih biasa. Mulai dari leher hingga kaki. Kukunya yang kotor dikerk. Setelah
itu diurap dengan bablonyoh terakhir sawa dibersihkan lagi dengan air bersih
lalu air kumkuman.
2.
Eteh-eteh
Setelah pembersihan lalu dilanjutkan dengan: maeteh-eteh, yakni
menempatkan sarana-sarana: daun intaran pada alis, pusuh menuh diatas
hidungnya, kaca ditaruh diatas matanya, waja ditaruh diatas giginya, sikapa
yang diiris-iris ditaruh di dadanya, bbek ditaruh diatas perutnya, malem
ditaruh pada telinganya, daun terung bola ditaruh diatas kelamin pria, daun
padma ditaruh diatas kemalan perempuan, kemudian disembar dengan daun terung.
Kakinya diitik-itik ngeka pada, tangan diamustikan diisi kwangen dengan uang
kepeng 11. Monmon mirah dimasukkan pada mulutnya. Pada masing-masing bagian
tubuh diletakkan kwangen.Kwangen yang berisi pucuk dadap ditaruh dikepala atau
dahi menghadap kebawah. Kwangen yang berisi kepeng 11 ditaruh ditengah-tengah
susu(dada), menghadap kepala.kwangen yang berisi uang kepeng 9 yang disertai
bunga cempaka putih ditaruh pada tangan kanan dan kiri dan dua kwangen ditaruh
di kaki kanan dan kiri. Setelah itu diberikan tirta pembersih dan penglukatan.
Sawa kemudian digulung dengan kain putih dan tikar kalasa. Kemudian dilante dan
diikt dengan tali yang kuat. Diatas penggulungan ditaruh daun telunjungan, kain
putih secukupnya dan tatindih.
3.
Persembahan
Sawa diangkat, dilempari telur ayam dari kepala menuju kakinya,
anak-anak, cucu dan lain-lain lalu masulub. Sawa ditidurkan dibale.
Diahturi punjung, dan tataban satu soroh eedan. Upasaki ke surya
mempersembahkan suci satu soroh dengan banten asoroh eedan, beserta lis, segau
dan tepung tawar, upasaki dihaturkan, tataban kesawa menyusul. Keluarga yang
lebih muda menyembah. Setelah selesai keluarga menyuapi punjung kepada Sang
mati dengan alat daun dadap serta mempergunakan tangan kiri. Setelah selesai
persembahan, lalu disuntik dengan formalin dan dimasukkan ke dalam peti
(selepa). Hal ini dilakukan karena menunggu hari pengabenan.
4.
Narpana
Narpana untuk menentramkan Sang Pitra dilakukan melewati hri
Purnama dan Tilem. Artinya pada hari Purnama dan tilem sebelum pengabenana
wajib mempersembahkan tarpana, dengan upakara babanten.
5.
Metangi
Upacara ini dilakukan tiga hari menjelang pengabenan. Upacaranya
juga menghaturkan tarpana. Upacara ini bertujuan membangun Sang mati untuk
segera Samskara.
6.
Samskara
atau Manggah Beya
7.
Memberikan
Sekul Liwet
Sekul
liwet yaitu bubur yang dibuat dengan beras yang dibersihkan 11 kali. Air yang
dipakai menanak didapat dengan membeli diwaktu tengah malam di suatu kelebutan
di sungai. Setelah tengah malam bubur ini dipersembahkan oleh Pretisantana yang
terkemuka.
8.
Upacara
kebeji dan Narpana
Upacara
kebeji bertujuan menyucikan Sang Pitra berjalan terus sampe hari pengabenan.
Sedangkan upacara Narpana atau mempersembahkan perangkatan juga berjalan setiap
hari kecuali hari pasha.
9.
Pemasmian
atau pembakaran Sawa
Dimulai sejak
pagi-pagi daiadakan upacara Mlaspas Waadah (Bade), Petualangan dan Bale Gumi
sampai Sawa habis terbakar.[10]
PENUTUP
Kesimpulan
Meski sedikit rumit dalam menjalankan praktik
upacara dalam agama Hindu namun, semua bagian yang ada dalam upacara tersebut
banyak manfaatnya dan mengandung nilai keagamaan yang besar.
Perangkat-perangkat yang ada pada praktik upacara itu sesungguhnya adalah
merupakan budaya Hindu yang sepantasnya harus dilestarikan, karena perangkat-perangkat
tersebut merupakan bagian dari ajaran agama Hindu yang diimplementasikkan
secara nyata dan tergolong dalam upakara/upacara dari kerangka agama Hindu.
Disamping itu perangkat-perangkat tersebut menjadi atribut-atribut atau
symbol-simbol yang memiliki keagamaan yang telah membudaya sejak dahulu kala
sampai sekarang yang harus dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA
Arthayasa,I nyoman. Perkawinan Agama Hindu.
Surabaya: PARAMITA,1998.
Singgin
Wikarman, Drs. I Nyoman. Ngaben (Upacara dari Tingkat Sederhana sampai
Utama). Surabaya: PARAMITA, 2002.
Pandit,
Bansi. Pemikiran Hindu. Surabaya: PARAMITA, 2000.
Sudarsana,
Putu Drs.I.B. Ajaran Agama Hindu (Uparengga). Denpasar: Yayasan Dharma
Acarya, 2000.
Sudharta
,Tjok Rai, Manusia hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha,1993..
[1]Putu
Sudarsana, Ajaran Agama Hindu (Uparengga), (Denpasar: Yayasan Dharma
Acarya,2000) h.69-70.
[2]
Tjok Rai Sudharta, Manusia hindu (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha,1993),
h.10-11.
[3] Bansi
Pandit, Pemikiran Hindu, (Surabaya:PARAMITA,2006), h.304.
[6]
Ibid h. 309-312.
[7] I
Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben (Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama),
(Surabaya: PARAMITA, 2002), h.14.
[8]
Ibid, h.22-23.
[9]
Ibid, h. 24.
[10]
Ibid, h.125-140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar