UPACARA
KELAHIRAN, PERKAWINAN, DAN KEMATIAN
DALAM
AGAMA BUDDHA
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah
Hindu dan Buddha di Indonesia
Dosen Pembimbing
Siti Nadroh, MA
Disusun Oleh
Mohammad Rifky Nuris
Nevartani Kurbin
Novi Karyahti
Noviah Syahidah
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
PENDAHULUAN
Upacara
adalah rangkain tindakan terorganisir dengan tatanan atau aturan tertentu yang
mengedepankan berbagai tanda atau symbol –simbol kebesaran dan menggunakan
cara-cara yang ekspresif dari hubungan social, terkait dengan suatu tujuan atau
peristiwa yang penting. Kita mengenal bermacam-macam upacara, seperti upacara
kenegaraan termasuk upacara militer dan upacara bendera, upacara adat dan
agama.
Upacara
dan ritual merupakan suatu ornament atau dekorasi untuk memperindah suatu agama
guna menarik masyarakat.setiap agama. Upacara tersebut tentu mengandung makna
penting bagi yang menjalankannya (penganut) seperti akan mendapatkan
keberkahan, keselamatan dan lain sebagainya.
PEMBAHASAN
A.
Makna Kelahiran dan Upacaranya
a. Makna Kelahiran
Kelahiran dalam Buddha sehubungan dengan
Tumimbal Lahir yaitu, kelahiran kembali suatu mahluk hidup dalam alam kehidupan
yang sama atau berbeda serta tidak membawa kesadaran akan kehidupan dari alam
sebelumnya. Konsep ini berbeda dengan konsep reinkarnasi di mana reinkarnasi
masih membawa kesadaran akan alam kehidupan dari alam sebelumnya. Yang dimaksud
dengan Tumimbal lahir adalah suatu proses kelahiran kembali jasmani dan batin
yang lama mengalami pelapukan, kehancuran, dan kemudian muncul jasmani dan
batin baru yang timbul akibat adanya kekuatan kamma (perbuatan). Jadi disini
jasmani dan batin/”jiwa” tidak kekal. Konsep ini dianut oleh penganut Buddhisme
sesuai dengan 3 prinsip dasar hidup dan kehidupan yaitu : Anatta, segala
sesuatu adalah tanpa adanya “roh”/”jiwa”/batin yang kekal. Anicca, segala
sesuatu yang terbentuk dari gabungan beberapa unsur adalah tidak kekal. Dukkha,
segala sesuatu yang tidak kekal membawa penderitaan atau Dukkha.[1]
Menurut Sang Buddha, kita memiliki sejumlah ciri
yang menentukan kita, apakah kita terlahir sebagai manusia atau hewan. Hal ini
disebut Khanda, istilah dari bahasa Sansekerta yang berarti “kelompok” (juga
dikenal sebagai agregat). Meskipun agak susah diterima, kebenaran penting yang
ditekankan oleh Sang Buddha adalah tak adanya diri pada cirri mana pun
atau keseluruhan. Kelahiran yaitu, mengumpulkan Khanda dalam suatususunan
tertentuu.[2]
b.
Upacara
Kelahiran
Dalam
Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak
lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu,
orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi
terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di
depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha,
sangha dan dharma). Ini adalah pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi
Relic Suci, di Kandy.[3]
Pada
saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu menyerahkan bayi mereka ke
awam wasit (kapuva) di dalam ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk
beberapa detik di lantai dekat ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu
menerima anak dan memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang
diberikan.
Lahir
Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih
nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang
baik.. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti
kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim
kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus
Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di
mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.
Pentahbisan.
Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke
dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara
sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras
bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum
menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap
biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau
untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada
Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga.
Pentahbisan
terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan.
Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari
sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah
pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan.
Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian
ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah
terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar
Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu,
jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah
don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan
ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam
kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran,
setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam.
Menurut
"Upacara Ritual Buddhis dan Sri Lanka," dengan pengecualian penahbisan
dengan kehidupan monastik dan ritus pemakaman, hidup peristiwa siklus dianggap
sebagai urusan sekuler untuk sebagian sejarah Buddhisme. Tidak seperti di agama
besar dunia lainnya, tidak ada Buddha kuno penamaan bayi-upacara ada. Dalam
masa yang lebih baru, ritual Buddhis telah dicampur dengan orang-orang dari
agama-agama dunia dan budaya lain. Di banyak negara bahwa praktek Buddhisme
Theravada, pengaruh luar telah mengilhami pengembangan Buddha penamaan
bayi-ritual.
B.
Makna Perkawinan dan Upacaranya
a. Makna Perkawinan
Dalam
ajaran Buddha, pernikahan dianggap sebagai kebiasaan sosial dan bukan sebagai
tugas religious.Pernikahan adalah kebiasaan sosial, suatu lembaga yang dibuat
manusia demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, untuk membedakan manusia
dari kehidupan hewandan untuk memelihara keutuhan dan keselarasan dalam proses
berkembang biak. Sang Buddha tidak memberlakukan aturan tentang kehidupan
pernikahan tapi member nasihat yang perlu tentang bagaimana menjalani kehidupan
pernikahan yang bahagia.ada anjuran penuh dalam ceramahNya bahwa adalah
bijaksana dan sebaiknya setia pada satu pasangan dan tidak bernafsu mengejar
pasangan lain. Pandangan umat Buddha terhadap pernikahan sangat liberal; dalam
ajaran Buddha, pernikahan dianggap sepenuhnya urusan pribadi dan individual,
bukan sebagai tugas religious. Tidak ada hukum keagamaan dalam ajaran Buddha
yang mendesak orang untuk menikah, untuk tetap membujang, atau untuk menjalani
kehidupan selibat total. Ajaran Buddha membebaskan setiap individu untuk
menentukkan bagi dirinya sendiri segala sesuatu mengenai pernikahan.[4]
Makna
Pernikahan seperti yang diajarkan Hyang Buddha pada pasangan mempelai
Nakulapita dan Nakulamata :
”Perumah
tangga, apabila pria dan wanita menginginkan agar berjodoh satu dengan yang
lainnya dalam kehidupan ini, maupun dalam kehidupan mendatang”
“Suami
istri, keduanya harus memiliki kehidupan yang sebanding dalam keyakinan, moral,
kemurahan hati dan kebijaksanaan. Maka mereka akan selalu bersama dalam
kehidupan sekarang ini, maupun kehidupan selanjutnya...”
Makna
Pernikahan sesuai kitab suci Tri Pitaka - Anguttara Nikaya II, 61 yaitu:
"Demikian
di dunia ini, pasangan suami isteri yang hidup sesuai tuntunan Buddha Dharma,
mereka sepadan kebajikannya, maka di alam dewa mereka bersuka cita mencapai
kebahagiaan yang diidamkan.”
Dalam hubungan ini sang Buddha membedakan empat
jenis pasangan : (1) seorang pria jahat (chavo) dengan seorang wanita
jahat (chava) mereka merupakan pasangan yang buruk, senantiasa melanggar
pancasila, melakukan berbagai kejahatan, mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk,
mementingkan diri sendiri, dan menghina orang-orang suci dan orang-orang lain,
(2) pria jahat denagn wanita baik (devi), (3) pria baik (deva)
dengan wanita jahat, (4) pria baik (deva) dengan wanita baik (devi)
pasangan yang terakhir ini yang di puji oleh sang Buddha.[5]
Perkawian adalah perjodohan laki-laki dan
perempuan menjadi suami istri. Di dalam Tipitka tidak banya ditemukan
uraian-uraian yang mengatur masalah perkawian, akan tetapi dari berbagai sutta
dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan istri untuk
membentuk perkawinan yang bahagia.
b.
Upacara Pernikahan
Persembahan Puja pengantin disiapkan di Altar Hyang
Tathagata Tuhan Yang Maha Esa dan di Altar Buddha dan Boddhisattva.
Kedua mempelai memberi penghormatan wensin dan
namaskara sebanyak 3x, menyulutkan 3 batang hio, berlutut dan berdoa :
“Pada hari ini dengan penuh rasa sujud dan
kesungguhan hati\ kami berdua berlutut dan menghadap Hyang Tathagata Tuhan Yang
Maha Esa, sumber kesucian para Buddha dan Boddhisattva.”
“Kami saling berjanji untuk menyatukan diri
dalam ikatan pernikahan yang suci. Kami berlindung pada Buddha, Dharma dan
Sangha.”
“Kami berdua berjanji untuk selalu setia,
membina rumah tangga dengan saling menghargai, saling membantu dalam suka dan
duka, saling mengalah, saling berkorban, serta saling mengingatkan untuk
berbuat kebajikan, sampai tercapai Pantai Bahagia ”
"Semoga Cahaya Buddha selalu memberikan
karunia, ketentraman, kedamaian dan kemajuan dalam hidup rumah (angga kami, dan
kami dikaruniai garis keturunan yang baik, yang bisa Manusia Berguna untuk
keluarga, bangsa, Negara, masyarakat dan agama Buddha Mahayana ”
"Namo Omitofo, Namo Omitofo, Namo
Omitofo.”
Selesai kedua mempelai sembahyang, dengan
beranjali memasuki ruang Dharmasala, keluarga beserta tamu berdiri
beranjali.
Di Altar Hyang Buddha, para Boddhisatvva
dan Dewa Pelindung Dharma, kedua mempelai memberi penghormatan
wensin dan namaskara sebanyak 3x pada Hyang Buddha, para Boddhisatvva
dan Dewa Pelindung Dharma.
Kedua mempelai melakukan Puja Penerangan -
menyalakan Lilin Pengantin, dalam hati berdoa ;
"Semoga Api Dharma ini menjadi penerangan
bagi perjalanan hidup rumah tangga kami berdua.
"Om Vajra Adoke Adi Hum 3x “
Lalu kedua mempelai melakukan Puja Dupa,
menyalakan masing-masing 1 dupa di lilim pengantin, dengan berdoa dalam hati :
"Semoga dengan wanginya dupa ini dapat
ikut mengharumkan Tanah suci para Buddha, membawa berkah keberuntungan dan
kebahagiaan dalam perjalanan hidup rumah tangga kami berdua."
"Om Vajra Dupe Ah Hum 3x"
Arya Sangha yang akan memberkati Perkawinan, memberikan
pengantar upacara pemberkatan, sbb :
“Para wali dan keluarga mempelai yang kami
hormati, sebelum upacara pemberkatan Pernikahan ini disahkan, perkenankanlah
kami mengajukan pertanyaan dan mohon dijawab dengan sejujurnya di hadapan Altar
suci para Buddha dan Boddhisattva. Apakah pernikahan ini direstui oleh orang
tua atau wali dari kedua belah pihak?"
Jika pernikahan direstui, maka keluarga
seharusnya menjawab "Ya kami restui Tapi jika ada pihak yang keberatan,
inilah , saat terakhir untuk mengungkapkannya atau bijaksana jika tetap diam
selama Pernikahan antara kedua insan ini ada.”
Ketika jawabannya iya, maka Sangha memanjatkan
ayat kitab suci dengan diikuti kedua mempelai.
a)
PRASETIA PERNIKAHAN
Prasetya Pernikahan diucapkan kedua mempelai di
hadapan Altar Buddha dan Boddhisattva dalam sikap anjali, hikmad
dan berlutut penuh sujud.
Prasetya Pernikahan kedua mempelai diawali
dengan :
"Pada hari ini, dengan penuh rasa sujud
dan sungguh hari, kami berdua berlutut dan menghadap kepada Hyang Tathagata
Tuhan Yang Maha Esa, sumber kesucian para Buddha dan Boddhisattva, kami saling
berjanji untuk menyatukan diri dalam ikatan Pernikahan yang suci”
Kemudian mempelai pria mengucapkan nama, tempat
tanggal lahir dan kesediaannya menerima mempelai wanita menjadi isterinya yang
sah.
Demikian juga sebaliknya, mempelai wanita
mengucapkan nama, tempat tanggal lahir dan kesediaannya menerima mempelai pria
menjadi suaminya yang sah.
Mempelai saling ber-Prasetya pada pasangan
hidupnya :
“Kami berjanji untuk selalu setia kepada
Prasetya Pernikahan kami, dengan saling menghargai, saling membantu dalam suka
dan duka” "Kami berjanji saling menjaga kesetiaan dalam berbagai hal,
saling mengalah, saling berkorban, serta saling mengingatkan untuk berbuat
kebajikan, sampai tercapainya Pantai Bahagia."
Kedua mempelai ber-Prasetya pada keturunan
mereka nantinya :
“Kami berjanji akan menjadi orang tua yang
selalu penuh cinta kasih, memberikan pelayanan kesehatan jasmani rohani, dan
memberikan pendidikan yang layak, serta melindungi keturunan kami”
Kedua mempelai ber-Prasetya pada kedua belah
pihak orang tua mereka :
“Kami berjanji saling menghormati dan
menyayangi pada kedua belah pihak orang tua kami”
Kedua mempelai menutup Prasetya Pernikahan
mereka dengan berdoa dan pengharapan yang baik :
"Semoga Cahaya Buddha selalu memberikan
karunia, kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan kemajuan dalam hidup kami.”
"Semoga kami dikaruniai keturunan yang
sehat, berbakti, dan menjadi Manusia berguna bagi keluarga, masyarakat bangsa,
negara dan agama Buddha.”
Prasetya Pernikahan diakhiri dengan memuliakan
nama Amitabha Buddha sebanyak 3x :
“Namo Omitofo, Namo Omitofo, Namo Omitofo ”
mgate Bodhi Svaha 3x
b)
Wacana pernikahan
Untuk upacara pemberkatan, ada pra-syarat Puja
yang harus dipenuhi pengantin, disebut 5 Puja Pengantin, yaitu:
Upacara pemberkatan pengantin termasuk upacara
besar, karena itu pra-syarat Puja harus lengkap .
1.
Dupa / Hio/ Gaharu yang wangi sebanyak 9 batang
(minimal untuk 3 jam pembakaran)
2.
Lilin pengantin sepasang, berwarna merah atau
kuning.
3.
Buah atau makanan, sebanyak 3 atau 5 macam,
berjumlah (@ 2, 6 atau 10 buah. (Buah, kue atau permen manis termasuk Puja
makanan)
4.
Bunga segar sebanyak 2 ikat, usahakan yang
wangi seperti Sedap Malam atau
5.
yang bisa tumbuh seperti batang pohon Sri
Rejeki.Bunga tabur aneka warna satu bungkus, selain bunga pagi sore tambahkan
yang wangi seperti melati, kenanga, cempaka dan mawar.
c)
Tujuan perkawinan
Dalam
pesta nikah di Jambunada Buddha memberi khotbah mengenai perkawinan yang
hendaknya dilandasi cinta akan kebenaran.[6]
Manusia membayangkan kebahagian dalam ikatan perkawinan yang mempersatukan dua
hati yang saling mencintai. Tetapi kemtian akan memisahkan suami dari istrinya,
istri dari suaminya. Ada kebahgian yang lebih besar, yaitu menikahkan diri
dalam kebenaran. Kematain tidak akan menjamaah dia yang kawin dan hidup dalam
ikatan suci dengan kebanaran, karena kebanaran itu abadi.[7]
Apa
yang disebut kebahagian dalam kehidupan sekarang ini ataupun kehidupan yang
akan datang menghendaki adanya keyakinan moral, kemurahan hati dan
kebijaksanaan yang sebandin. Karena itu tujuan perkawinan tiada lain adalh
saling melengkapi, saling mendukung dan melindungi sehingga pasangan yang
bersangkutan bersama-sama dapat mencapai kesempurnaan yang mendatangkan
kebahagian. Lembaga perkawinan merupakan tempat untuk mengembangkan kekuatan
secara sinergis dari dua individu yang membentuk pasangan, yang membebaskannya
dari kesepian, kekhawatiran, ketekutan, kekurangan dan kelemahan. Dengan itu,
tak seorang pun yang tidak diperkuat dengan kehidupan spiritualnya.[8]
C.
Makna Kematian dan Upacaranya
a.
Makna Kematian
a) Kematian dalam agama Budha
Bila kematian tiba,
Tak ada yang kubawa serta,
Harta, kemewahan bukan lagi milikku,
Kedudukan, nama dan kekuasaan,
Semua telah sirnah.
Siapa mengiringi perjalananku ?
Lenyap sudah tali ikatan
Teman, sahabat, keluarga tercinta,
Hanya tinggal kenangan ……
Kini ku teringat,
48 janji besar Amithabha Buddha’
Tekad mulia menolong semua makhluk,
Bebas dari derita,
Untuk lahir dari surga sukhavati,
Kepada-Nya aku berlindung,
Sepenuh hati ku berseru :
Namo AmithabhaBuddha. (berulang-ulang)[9]
Agama
Buddha mengajarkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian
hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan dialam
tumimbal lahir yang baru.
Bagi
mereka yang sewaktu msih hidup rajin berlatih membina diri, menghayati dan
melaksanakan ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya
tiba, bahkan ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun;
bulan; minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari ketakutan dan
kemantapannya di dalam menghayati Buddhi
Darma. Sehingga menjelang saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan
seperlunya, yaitu membersihkan diri dan menukar pakaian, lalu bermeditasi
sambil menyebut Namo Amhitabha Buddha.
Menurut
agama buddhapun, hidup tidak hanya sekali . adanya silkus lahir dan
mati,bagaikan siang dan malam. Kematian bukanlah akhir, karna seketika itu pula
berlanjut pada kelahiran kembali. Melalui lahir dan mati dari alam yang satu kea
lam yang lain, ataupun kembali kea lam yang sama, para mahluk menjalani
lingkaran tumimbal lahir. Buddha mengatakan,”sesuai dengan karmanya mereka akan
bertumimba-lahir dan dalam tumimba lahirnya itu mereka akan menerima akibat
dari perbuatannya sendiri. Karna itu aku menyatakan: semua makhluk adalah
ahliwaris dalam perbuatannya sendiri.”
Sedangakan
gagasan penganut Buddha tradisional tentang kematian didasarkan pada doktrin
india kuno yaitu samsara, dan secara beragam diterjemaahkan sebagai renkarnasi
atau transmigrasi- dari waktu kehidupan menjadi kehidupan yang lain.[10]
b.
Upacara
Kematian
Pada
saat menjelang kematian terurainya 4 Element besar dimulai dari unsur tanah,
unsur tanah akan turun ke unsur air, yang menyebabkan badan terasa sesak,
seakan-akan menanggung beban yang sangat berat, seluruh otot terasa kaku dan
keram, pada saat ini dianjurkan agar sanak saudara jangan menyentuh atau
memijatnya, karna akan menambah penderitaan jasmaninya. Setelah itu unsur air
akan turun ke unsur api, yang menyebabkan seluruh tubuh bagaikan diselimut oleh
hawa dingin yang amat sangat, beku sakit bukan kepalang. Dan dilanjut dengan
turunnya unsur api ke unsur angin, rasa sakit bertambah hebat, seluruh badan
terasa panas bagaikan terbakar. Element terakhir yang terulang adalah unsur
angin, badan rasanya seperti ditiup oleh angin kencang, tercerai-berai dan
hancur lebur. Saat ini 4 element besar telah berpisah, badan jasmani tak dapat
dipertahankan lagi,inilah yang disebut mati dalam ilmu kedokteran. Tetapi
menurut teori Buddhis, indra ke 8 (alajnavijnana) dari orang tersebut belum
pergi, karenanya belum boleh disentuh, dia masih dapat merasa sakit, bahkan ada
yang bisa mengeluarkan air mata, walaupun secara medis sudah dinyatakan mati.
Seperti
halnya Sang Buddha yang pada wafatnya di mandikan dan diminyaki dengan minyak
wewangian kemudian jenazahnya dibungkus, lalu dikremasi. Namun pada saat itu
konon katanya jenazahSang Buddha tidak bisa dibakar oleh orang yang ingin
mengkremasi jenazahnya melainkan api menyala sendiri dan akhirnya terjadi
kremasi ajaib. Umat buddhisme pun seperti itu, jenazah yang telah meninggal
diurusi, kemudian di bungkus kain, kemudian di kremasi. Sanak keluarga dan
saudara biasanya berkumpul untuk mendoakan jenazah yang meninggal tadi,
kemudian mengiringi jenazah kepada tempat kremasinya.
PENUTUPAN
Kesimpulan
Setiap
agama memiliki pandangan dan makna dalam siklus kehidupan yaitu, dari lahir,
menikah dan kemudian meninggal. Memiliki cara-cara kegamaan yang dilaksanakan
dalam setiap upacara-upacaranya. Pada Buddha tidak mengenal betul konsep Tuhan,
oleh sebab itu menurut Buddhisn kehidupan ini berjalan secara alamiah sebagai
siklus alam. Kematian dalam agama Buddha bukanlah akhir, melainkan awal untuk
kehidupan yang akan datang, arena mereka memiliki ajaran yang disebut Tumimbal
Lahir, dimana seseorang yang telah meninggal akan hidup dalam kehidupan
selanjutnya di bumi dengan keadaan yang berbeda sesuai perbuatannya(Kamma).
Kelahiran merupakan Dukkha, sebab dalam menjalankannya penuh dengan kedukha-an.
Dalam Buddha juga dijelaskan bahwa pernikahan bukanlah merupakan kewajiban,
melainkan pilihan. Pernikahan bukan bagian dari religiusitas. Masalah
pernikahan Sang Buddha sendiri menyerahkan kepada individunya masing-masing,
Sang Buddha hanya sedikit memberi nasihatnya tentang perkawinan . salah satunya
agar setia pada satu pasangan.
DAFTAR PUSTAKA
Dhammananda, Sri. Keyakinan Umat Buddha.Kuala Lumpur: Yayasan
Penerbit Karaniya, 2007.
Dutavira,
Bhiksu. Perjalanan Kematian. Jakarta: Pustaka Mahayana, 1993.
Helmi, Sumo, Upacara kelahiran sampai Perkawinan dalam Agma
Buddha,http://helmisumo.blogspot.com/2011/10/upacara-kelahiran-sampai-perkawinan.html di akses pada tanggal 28
April 2015, pukul 9.51.
http://id.wikipedia.org diakses pada
Jumaat,24 April 2015 10.58 wib.
Lin, Yutang. Buddhisme untuk pemul. diterjemahkan oleh Rudi
Ronald Sianturi. Yogyakarta : Tarawang Press, 2001.
Mukti, Wijaya, Krishnanda. Wacana Buddha Dharma. Jakarta :
Yayasan Dharma Pembangunan, 2003.
Stokes, Gillian. Seri Siapa Dia? Buddha. Jakarta:ERLANGGA, 2001.
Tanggok, M. Ikhsan, Agama
Buddha, Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2009.
Worwor,
Cornelis. Pandangan Sosial Agama Buddha. Jakarta: CV Nitra Kencana
Buana, 2004.
[2]
Gillian Stokes, Seri Siapa Dia? Buddha,(Jakarta:ERLANGGA, 2001) h.57.
[3] Helmi,
Sumo, Upacara kelahiran sampai Perkawinan dalam Agma Buddha, http://helmisumo.blogspot.com/2011/10/upacara-kelahiran-sampai-perkawinan.html di akses pada tanggal 28 April 2015, pukul
9.51.
[4]Sri
Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha,(Kuala Lumpur: Yayasan Penerbit
Karaniya,2007), h. 343-344.
[5] Cornelis,
Wowor, Pandangan Sosial Agama Buddha, ( Jakarta : CV Nitra Kencana Buana,2004)
, h.57.
[6] Lin,
Yutang, Buddhisme untuk pemula, diterjemahkan oleh Rudi Ronald
Sianturi,( Yogyakarta : Tarawang Press, 2001), h. 79-80.
[7]
Krishnanda, Wijaya-Mukti Wacana Buddha-Dharma, (Jakarta : Yayasan Dharma
Pembangunan, 2003), h. 340.
[8]Ibid, h.
341.
[9]Dutavira Bhiksu, Perjalanan Kematian,
(Jakarta: Pustaka Mahayana,1993) h.11.
[10]M.ikhsan tanggok,Agama Buddha, (Jakarta:
Lembaga Penelitian: UIN Jakarta, 2009), h.97-98.
Lucky Club Casino Site | Slots, Live Casino, Table Games
BalasHapusi to bring you 카지노사이트luckclub the latest casino games for you to enjoy at the Lucky Club Casino. Choose a slot, roulette, baccarat, blackjack, poker,